Rabu, 30 September 2009

Rawa Danau, sebuah cerita rakyat Padarincang

RAWA DANAU, sebuah danau berupa rawa – rawa yang hingga saat ini masih ada dan dikelola sebagai cagar alam seluas 2500ha merupakan saksi bisu dan peniggalan hidup legenda RAWA DANAU yang kami coba ungkap guna memperluas pengetahuan akan budaya tanah sendiri sekaligus untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah ANTROPOLOGI Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi Semester I.

Berkaitan dengan hal tersebut, kami berhasil mewawancarai warga yang mengetahui cerita tersebut sekaligus melihat langsung wilayah RAWA DANAU yang berada di Jalan Raya Palka Km.32 Kec. Padaricang – Ds. Citasuk, Kp. Sukamaju yang kami lakukan pada hari Kamis, 22 Januari 2009. Berikut hasil ekspedisi yang berhasil kami lakukan.

Tim ekspedisi ini beranggotakan 6 orang mahasiswa FISIP UNTIRTA – ILMU KOMUNIKASI semester I kelas ID yaitu, Farah Airin, Firiani Fazriah, Gagah, Hizaz Juliyadi, Kinanthi Dyah Arini dan Nugra Ahdilan.


Dahulu kala, disebuah desa yang mamiliki ulama terkenal bernama Syech Maidin. Pada suatu hari, saat ia pulang dari pengajian ( memberi ceramah ) ia merasa sangat ingin buang air kecil. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuang air kecilnya kedalam batok kelapa muda yang ia temukan dipinggir jalan manakala akan pulang. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya kembali. Namun diduga, batok kelapa muda yang berisi air kencing Syech Maidin tadi diminum oleh seekor babi hutan dan dengan sangat tidak terduga, babi hutan tersebut mengalami hal aneh yaitu tiba – tiba bunting.

Setelah si babi mengalami hal aneh tersebut dan malahirakan, ternyata ad hal yang jauh lebih aneh dan ajaib terjadi, si babi melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik jlita dipinggir desa tersebut. Bayi tersebut kemudian ditemukan oleh warga setempat dan dibawa kepada Syech Maidin. Setelah melakukan musyawarah, Syech Maidin memutuskan akan diadakan sukuran si bayi sekaligus pemberian nama kepada bayi tersebut apabila si bayi sudah dapat merangkak. Akhirnya, setelah si bayii bisa merangkak, dilakukanlah sukuran si bayi diman setiap kepala keluarga diharuskan membuat dan membawa makanan ke Mesjid tempat akan dilaksanakannya acara sukuran tersebut. “ Peraturannya adalah, barang siapaa yang diambil makannnya oleh bayi ini. Dialah orantua kandungnya ( Bapaknya ) “ tutur Syech Maidin ketika semua orang sudah berkumpul di Mesjid. Dan ternyata, si bayi merangkak mengambil makanan/kue bakatul yang dibuat oleh Syech Maidin, kemudian dianugrahkan kepadanya nama Nyi Artati. Tumbuhlah Nyi Artati menjadi gadis yang cantik dan sakti dalam asuhan Syech Maidin.

Waktu berlalu begitu cepat, hingga ada suatu kejadian di desa tersebut dimana didalam mimbar mesjid desa tersebut tumbuhlah sebuah jamur yang sangat besar dan tak ada yang mampu mencabutnya kecuali Nyi Artati. “Aku siap mencabut jamur tesebut, asalkan kalian mau membuatkan Aku sebuah lisung ( perahu ) beserta dayungnya “ , ucap Nyi Artati kepada warga desa tersebut. Akhirnya, dicabutlah jamur tersebut oleh Nyi Artati. Tiba – tiba keluarlah mata air yang akhirnya merendam semua isi desa tersebut, hanya Nyi Artati lah yang berhasil menyelamatkan disi dengan lisungnya. Kini, Desa tersebut berubah menjadi sebuah danau dan warganya berubah menjadi buaya termasuk Syech Maidin dan Sanggayuta yang menurut riwayatnya adalah tangan kanan Syech Maidin pun ikut berubah menjadi pimpinan buaya yang ada di danau tersebut. Danau yang kini terkenal dengan naman RAWA DANAU.

Singkat cerita, setelah Nyi Artati berhasil selamat ia mengasingkan diri disebuah hutan di Gunug Kupak. Ia tinggal seorang diri, menghabiskan waktunya dengan menenun siang maupun malam. Hingga pada suatu malam, salah satu alat tenun ( barera ) yang sedang ia gunakan terjatuh keluar rumah panggung miliknya. Karena tidak mampu mengambilnya sendiri, Nyi Artati berucap, “ Barang siapa yang mampu mengantarkan barera milikku, jika ia perempuan akan ku jadikan saudara, namun jika ia laki – laki akan ku jadikan suami “, ternyata ucapan Nyi Artati tersebut didengar oleh seekor anjing yang bernama Si Tumang. Setelah mendengar ucapan Nyi artati tadi, Si Tumang bergegas mengambil barera tersebut dan mengembalikannya pada Nyi Artati. Akhirnya, sesuai apa yang telah diucapkannya, Nyi Artati menikah dengan Si Tumang dengan tetap mau menerima kedaan Si Tumang yang adalah seekor anjing.

Tak lama kemudian, lahirlah seorang anak laki – laki dari pernikahan Nyi Artati dan Si Tumang yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi anak laki – laki yang gagah, cerdas, sehat dan sakti. Suatu hari, Nyi Artati sangat ingin memakan hati manjangan, berburulah Sangkuriang bersama Si Tumang. Sesampainya dihutan, Sangkuriang melihat seekor babi hutan, ia mamrintahkan Si Tumang untuk mengejar babi hutan tersebut namun Si Tumang tak bergeming, ia teatap diam. Sangkuriang sangat bera\ng melihat tingkah Si Tumang tersebut. Ia marah, sangat marah hingga akhirnya ia membunuh Si Tumang dengan menyembelih leher Si Tumang dan diambilah hati Si Tumang dan dibawanya pulang. Ia memberikan hati berlumuran darah tersebut kepada sang ibunda untuk dimasak.

Setelah beberapa saat kejadian tersebut, Nyi Artati menanyakan keberadaan Si Tumang kepada Sangkuriang dan ia pin menjawab, “ Jangan bertanya Si Tumang kemana atau dimana, karena yang baru sahj Ibu masak adalah hati Si Tumang “. Nyi Artati sangat gusar mendengar hal tersebut hingga dipukul lah kepala Sangkuriang dengan sebuah sinduk yang membuat kepalanya terluka. Semenjak kejadian tersebut, pergilah Sangkuriang menuntut ilmu.





Waktu belalu…
Sangkuriang menjadi dewasa , tampan dan sakti mandraguna.
Kemudian ia memutuskan untuk kembali pulang mencari Ibunya, namun ditengah perjalanan ia bertemu dengan seorang wanita cantik jelita dan ia pun jatuh cinta kepadanya yang ternyata adalah Ibunya sendiri. Sangkuriang sangat tergila – gila kepada wanita cantik tersebut. Ia teringat akan wasiat Ibunya dalam sebuah cincin, “ Barang siapa wanita yang jari manisnya pas mengenakan cincin ini, dial ah jodohmu, Nak “, tanpa pikir panjang, dipakaikanlah cincin tersebut kedalam jari manis sang putri cantik tersebut dan ternyat, Pas !!!! Sangkuriang berusaha meyakinkan wanita tersebut adalah jodohnya dan bukan Ibu kandungnya, namun sang wanita pun bersikukuh Ia adalah Ibu kandunganya. Wanita tersebut berusah meyakinkan dirinya sendiri denagn memegang kepala Sangkurinag dan memastikan bekas luka pukulan sinduk ketika Ia masih anak – anak. Keyakinan wanita itu tenyata benar, lelaki dihadapannya adalah Sangkuriang, anaknya sendiri yang kini justru mencintai dan ingin meminangnya sebagai istri. Karena Sangkuriang tidak mau percaya dan tetap ngotot ingin menikahi Nyi Artati, akhirnya ia ditantang oleh Nyi Artati untuk membendung RAWA DANAU sebelum fajar muncul diufuk timur, jika ia mampu melakukannya, ia boleh menikahi Nyi Artati anmun jika tidak, ia harus mengakui bahwa Nyi Artati adalah Ibunya sendiri. SEPAKAT! Sangkuriang menyetujui hal tersebut. Dalam waktu satu malam, dengan kesakstiannya yang nyaris sempurna, dibendunglah danau tersebut, namun sang Ibu pun tak ingin kalah, ia tak ingin pernikahan berdosa itu benar – benar terjadi. Maka, dengan kesaktian yang dimilikinya, Nyi Artati membeberkan karembong beureum miliknya di ufuk timur hingga tampak seperti matahari terbit, ayam – ayam pun diperintahkannya untuk berkokok dan bunyi lisung padi pun telah berbunyi seolah – olah sudah ada yang menumbuk padi menandakan malam telah berganti pagi. “ Hei, Sangkuriang. Lihatlah keselah timur, fajar sudah menyingsing. Waktumu telah habis. “, Sangkuriang sangat kadet, spontan ia langsung menoleh keufuk timur manakala di tangan kanannya menggenggam segumpal tanah dan tangan kirinya menggenggam rumput kasimbukan. Dengan amarah yang memuncak, dilemparkanlah segumpal tanah tersebut dan jadilah sejarang gunung kecil bernama Gunung Jamungkal yang hingga saat ini masih ada ditengah RAWA DANAU. Rumput yang tadi digenggamnya ia kentuti dan sampai saan ini rumput tersebut terkenal dengan nama Rumput Kentut – kentutan.

Akhirnya, Sangkuriang tidak berhasil meminang Nyi Artati…

Menurut legenda, hingga detik ini baik Sangkuriang maupun Nyi Artati masih hidup di daerah Padarincang – Ciomas.

Dari cerita ini, ada nilai moral penting yang dapat kita ambil yaitu, Setinggi – tingginya bahu tidak akan melebihi kepala, artinya sesakti – saktinya seorang anak tidak akan mampu melebihi orangtuanya.


Bila ada kesalahan, kekurangan maupun kelebihannya mohon di maafkan karena kami hanya manusia biasa. ( Pesan Narasumber )

7 komentar:

Mencrut mengatakan...

itu sangkuriang emg dr padarincang rawa danau???ko ceritanya ngelebar??ksh pencerahan dunt

Unknown mengatakan...

Ko kyak cerita tangkuban perahu

Unknown mengatakan...

Assalamu alaikum kok ceritanya beda dg yg diceritakan oleh kuncen gunung jamungkal.bah kanjut orang ranca gelang.

Unknown mengatakan...

Namanya jg fiksi jdi gk usah terlalu diperdebatkan

Unknown mengatakan...

Namanya jg fiksi jdi gk usah terlalu diperdebatkan

ahmadrofik mengatakan...

ceritanya emang bagus dan banyak menimbulkan pertanyaan dalam setiap pembacanya,contohnya di sebutkan ada sebuah mesjid pastinya ada masyarakat dan perkampungan, namun ga di sebutkan nama tempat atau kampungnya, kejadiannya atau masanya berapa tahun yang lalau.
tp bila para pembaca penasaran silahkan untuk menelusuri dan mencari sumber sejarah tersebut biar lebih lengkap dan mendalam supaya pembaca lainnya puas dan mengetahui sejarah tersebut.

ahmadrofik mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.